eCWbXBoqKVlcyXUNIzJr7wbcnJRa7fysuT0ds4TB
Bookmark

Ini 6 Fakta Pala Papua dalam Kehidupan Masyarakat Fakfak

Ini 6 Fakta Pala Papua dalam Kehidupan Masyarakat Fakfak - Jauh sebelum masa Indonesia modern, rempah Nusantara sudah dikenal di dunia. Hal inilah yang kemudian menjadi incaran bangsa-bangsa lain, termasuk Inggris, Spanyol, dan Belanda pada masa kolonial. Salah satu rempah yang tersohor adalah biji pala. Varian pala yang populer berasal dari Pulau Banda, Maluku. Padahal, ada varietas lain yang juga berkualitas tinggi, yaitu pala yang berasal dari Fakfak, Papua. 

Secara fisik perbedaan pala Banda dan Papua dapat dilihat dari bentuk dan ukurannya. Pala Banda berbentuk bulat, sedangkan pala Papua berbentuk lonjong dengan ukuran lebih besar. 

Ini 6 Fakta Pala Papua dalam Kehidupan Masyarakat Fakfak


Selain itu, menurut Ofra Shinta Fitri, Sustainable Sourcing Manager Yayasan Inobu (lembaga penelitian nirlaba Indonesia), rasa daging buah pala Papua juga lebih manis dan tidak menyisakan rasa getir. Nanny Uswanas, Co-founder Papua Muda Inspiratif, bercerita, daging buah pala sering digunakan sebagai pengganti jeruk dalam masakan masyarakat Fakfak.

Baca juga:Review I Trust Nature Fruit Gel Mask, Fresh dan Lembab

Pala banyak tumbuh di Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Nanny, yang merupakan penduduk asli Fakfak, menjelaskan, 70% - 80% wilayah Kabupaten Fakfak merupakan hutan pala endemik. Bagi masyarakat Fakfak, pala tidak hanya berperan sebagai bahan makanan, melainkan juga memiliki fungsi ekonomi, sosial dan budaya, serta ekologi. 

Ini 6 fakta soal pala Papua yang menarik untuk diketahui:

1. Ibu yang memberi kehidupan

Secara budaya, pohon pala di Fakfak dianggap seperti ibu sendiri oleh masyarakat setempat, karena pohon tersebut dinilai memberi kehidupan. 

“Mereka percaya, kalau tidak dijaga dengan baik, pohon pala tidak akan berbuah. Salah satu cara menjaganya adalah memberlakukan sanksi adat, jika ada yang menebang pohon pala. Anggapan sebagai ibu itu pulalah yang membuat pala kemudian diadopsi sebagai lambang Kabupaten Fakfak.” 

Nanny menyebutkan, masyarakat Fakfak merasa bahwa pala telah menjadi bagian dari jati diri mereka. Ia berpendapat, sebenarnya kita tidak bisa menahan laju pembangunan yang akan mengharuskan pembukaan lahan-lahan baru dan mungkin mengorbankan hutan pala. 

“Namun, yang paling penting, harus ada regulasi pembukaan lahan untuk pembangunan dengan cara menanam kembali pala dan menjadikan lokasi-lokasi tertentu sebagai area pelestarian pala, semacam hutan lindung. Hutan lindung pala tersebut harus berada di pusat kota, sehingga mudah dijangkau oleh wisatawan dan juga menjadi salah satu landscape kota. Karena, selain menjadi jati diri masyarakat Fakfak, buah pala juga merupakan lambang Kabupaten Fakfak.”

2. Alat barter pada zaman dahulu

Ini 6 Fakta Pala Papua dalam Kehidupan Masyarakat Fakfak


Bahkan sebelum Indonesia merdeka, pala sudah dipandang sebagai komoditas yang bernilai ekonomi tinggi oleh bangsa-bangsa di luar Indonesia. Nanny bercerita, zaman dahulu masyarakat Fakfak pesisir dan beberapa bangsa lain sudah menjalin hubungan perdagangan.  

“Ketika bangsa lain datang ke Papua untuk melakukan misi penginjilan, mereka memberi tahu masyarakat Fakfak tentang nilai ekonomi biji pala. Seandainya mereka tidak memberi tahu, pala akan dibiarkan tumbuh begitu saja, tanpa dipetik buahnya, Kemudian, dimulailah proses ekspor pertama dalam bentuk barter. Dari cerita lisan orang tua kami, ekspor pala telah dilakukan sejak zaman Belanda,” kata Nanny. 

Belakangan, ketika pemerintah formal mulai terbentuk, barulah masyarakat mengenal pala sebagai komoditas unggulan yang nilainya sangat menjanjikan. Penjualan zaman dahulu bukan per buah, melainkan per pohon. “Sebenarnya pemetik akan merugi, kalau buah di satu pohon terbilang banyak. Tapi, dulu secara tradisional transaksinya memang seperti itu,” lanjut Nanny, yang ingin membuat kajian akademis tentang pala.

Baca juga:Review N'PURE Noni Probiotics Balance Fine Toner dengan Kandungan 60% Buah Mengkudu

3. Digunakan sebagai ‘bank hidup’

Umumnya, musim panen pala adalah 2 kali setahun. Namun, terkadang di antara waktu panen tersebut terselip satu kali musim panen tambahan. Karena tidak bisa dipanen setiap hari, maka menjual pala atau menggadai pohon pala tidak bisa dijadikan sebagai mata pencaharian utama penduduk Fakfak. Mereka memiliki pekerjaan tetap, antara lain sebagai nelayan dan pegawai negeri.  

“Pala yang mereka panen dan jual digunakan sebagai dana cadangan, bukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Anggaplah sebagai ‘bank hidup’. Ketika akan mengadakan hajatan atau menyekolahkan anak, mereka akan menggadaikan pala kepada pengepul,” kata Nanny, yang juga bisa sekolah berkat pala.  

Lalu, bagaimana cara menentukan seorang warga berhak menjual pohon yang mana? Nanny menjelaskan, warga Papua mempunyai hak kepemilikan lahan atau hutan yang sifatnya komunal. Tapi, pembagiannya sudah jelas, yaitu berdasarkan marga, yang kemudian diturunkan ke keluarga-keluarga. Sistem pembagian tersebut tidak tertulis, namun sudah menjadi kebiasaan secara turun-temurun. 

Pala Papua bisa dijual dalam bentuk segar maupun kering. Menurut Nanny, sejak ia kecil hingga sekarang, warga Fakfak menjual pala segar baru petik per 1.000 buah. Sedangkan, pala kering rata-rata dijual per kilogram. 

Ofra menambahkan, “Dari kajian rantai pasok pala Papua, kami menemukan, pala-pala itu dijual ke pengepul. Dan, hampir semua pala dari Fakfak dikirim ke Surabaya. Sebagian kecil dikirim ke Sulawesi. Yayasan Inobu sedang berusaha untuk memperpendek rantai pasok. Dengan begitu, pemanen bisa terkoneksi langsung ke pasar, tidak lagi melalui pengepul, sehingga mendapatkan keuntungan lebih besar.”

4. Penjaga lingkungan dari bencana

Nanny bercerita, pohon pala merupakan tanaman yang tidak menyusahkan, karena bisa tumbuh subur dan berbuah banyak tanpa perlu pupuk dan perawatan khusus. Menurutnya, jenis pohon, kontur tanah, lingkungan, dan iklim memang saling mendukung dalam pertumbuhan pohon pala. Usianya juga bisa mencapai usia ratusan tahun dan terus berbuah, sehingga pohon yang dipanen oleh kakeknya dulu pun sekarang masih bisa dipanen sendiri oleh Nanny.

Diameter batang pohon pala Papua tidak besar, tapi punya akar yang sangat kuat. “Akar inilah yang berperan penting dalam mencegah terjadinya banjir dan longsor. Kabupaten Fakfak jarang sekali mengalami banjir. Bukan karena daerahnya berbukit-bukit, melainkan karena akar pohon pala yang mencegah bencana tersebut,” kata Nanny. 

Tanaman pala yang tinggi dan rindang juga berfungsi sebagai peneduh bagi tanaman-tanaman lain di sekitarnya. “Masyarakat sekitar hutan pala biasanya juga menanam berbagai tanaman lain di area hutan, seperti pohon rambutan, langsat, cengkeh, dan durian,” kata Nanny. 

Baca juga:Review Kambing Bakar Cairo Terlezat No 2 se Timur Tengah di Solo

Mengingat pentingnya peran pala bagi kehidupan, maka tabu bagi penduduk Fakfak untuk menebang pohon pala secara sembarangan. Apalagi, untuk kebutuhan yang tidak terlalu penting. 

5. Bagian dari budaya

Ini 6 Fakta Pala Papua dalam Kehidupan Masyarakat Fakfak


Dipandang sebagai pemberi kehidupan, maka pala juga tak lepas dari budaya masyarakat Papua, khususnya warga Fakfak. Nanny bercerita, setiap kali akan memanen pala, mereka mengikat pohon pala dengan kain putih. Yang diikat kain putih hanya satu pohon saja untuk mewakili satu hutan pala. 

“Ketika bicara soal pala, hutan, dan alam, berarti kita juga bicara tentang kemurahan Tuhan. Karena itu, seorang pemimpin adat yang memimpin upacara mengajak warga memanjatkan doa syukur sesuai agama masing-masing. Khusus untuk prosesi tersebut, mereka membuat semacam nampan yang terbuat dari anyaman daun pandan. Di dalam nampan itu terdapat empat gelas kopi dan sirih pinang.” 

Ofra juga pernah melihat langsung beberapa ritual yang dilakukan saat akan panen pala. Antara lain, menjelang panen, warga membersihkan area di sekitar pohon dari gulma, sehingga piringan atau lingkaran di sekitar pohon bersih. “Pisau yang dipakai untuk memanen pala juga diupacarakan. Ada prosesi khusus untuk menancapkan pisau pada galah.” 

6. Upaya pelestarian pala Papua

Karena merupakan tanaman liar, maka selama ratusan tahun penyemaian pala berlangsung secara alami oleh burung-burung. “Budidaya pala baru dilakukan sekitar 10-15 tahun lalu. Warga mulai memanfaatkan lahan-lahan kosong untuk menanam pala. Atau, mereka menanam kembali di lahan yang pohon-pohonnya tidak lagi produktif atau tumbang secara alami,” kata Nanny. 

Ofra menambahkan, pemerintah juga mulai merancang program budidaya pala Papua. Menurutnya, ini langkah yang baik. Hanya saja, ia berharap, budidaya ini tetap menggunakan bibit pala lonjong khas papua, sehingga biodiversitasnya tidak hilang.  

Bagian buah pala yang punya nilai ekonomi tertinggi adalah bagian biji dan fuli yang berwarna merah. Sementara itu, daging buahnya masih jarang dimanfaatkan. Padahal, ketika telah menjadi budidaya, daging buah pala jadi berlimpah. 

“Karena itu, Yayasan Inobu juga memikirkan tentang value creation dari pala, sehingga nilai jualnya jadi lebih tinggi. Salah satunya adalah membuat minyak atsiri,” kata Ofra.

Menurut Nanny, dulu daging buah pala hanya kerap dijadikan manisan basah dan kering. Sekarang produk turunannya sudah cukup beragam, seperti selai, sirop, permen, aromaterapi, dan balsem. Semuanya dikerjakan langsung di Fakfak, karena masyarakat Fakfak sudah mendapatkan berbagai pelatihan untuk memproduksi sendiri.

“Harapannya, di masa mendatang pala Papua bisa dijual dalam berbagai produk turunan yang memberikan manfaat bagi orang di luar Papua, bahkan sampai ke seluruh dunia. Karena, pala sudah memberikan manfaat bagi saya dan masyarakat Fakfak. Produksi produk turunan ini juga diharapkan tidak merusak hutan Papua, namun menjadi simbol bahwa kita perlu menjaga hutan beserta semua titipan yang diberikan nenek moyang kepada kita,’’ kata Nanny.

Anda mungkin suka:Bakso Sera Boyolali Sajikan Bakso Lobster dan Kuburan yang Lezat
0

Posting Komentar